
Penyu merupakan hewan yang masuk ke dalam daftar hewan yang dilindungi oleh negara karena keberadaannya yang semakin terancam akibat perbuatan manusia. Padahal penyu memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem laut, seperti mengendalikan populasi ubur-ubur agar tidak semakin invasif. Indonesia yang menjadi habitat bagi enam dari tujuh spesies penyu dunia, memikul tanggung jawab besar dalam pelestariannya.
Di tengah berbagai tantangan, masyarakat Desa Ciliang, Kabupaten Pangandaran, menunjukkan inisiatif luar biasa melalui upaya konservasi mandiri. Lewat semangat gotong royong dan kepedulian terhadap alam, mereka membuktikan bahwa pelestarian lingkungan bisa dimulai dari komunitas akar rumput. Artikel ini mengulas kisah perjuangan mereka, jenis-jenis penyu yang dilindungi, serta hambatan yang mereka hadapi di lapangan.
Awal Mula Konservasi Penyu di Batu Hiu

Upaya konservasi penyu di Batu Hiu bermula dari pembentukan Kelompok Pelestari Biota Laut (KPBL) pada tahun 2003. Sayangnya, kelompok ini sempat bubar pada 2006 karena trauma sosial yang dialami warga, bahkan ada yang sampai pindah tempat tinggal. Namun, semangat pelestarian tidak padam. Tahun 2010, Didin Saefudin menghidupkan kembali inisiatif tersebut. Setelah beliau meninggal, perjuangan dilanjutkan oleh Anaknya, Bapak Kurdi, yang kini memimpin Yayasan Konservasi Penyu Batu Hiu, Desa Ciliang.
Konservasi penyu di Desa Ciliang melindungi beberapa spesies penyu yang secara rutin mendarat di kawasan ini. Penyu hijau (Chelonia mydas) merupakan jenis yang paling sering terlihat, terutama di wilayah Batu Hiu. Selain itu, terdapat juga penyu lekang (Lepidochelys olivacea), penyu tempayan (Caretta caretta), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), dan penyu pipih (Natator depressus).
Seluruh spesies ini termasuk dalam daftar satwa dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Artinya, segala bentuk eksploitasi, perburuan, atau perdagangan penyu dan bagian-bagiannya adalah tindakan yang melanggar hukum.
Dalam pelaksanaan undang-undang tersebut, masih terdapat kurangnya penegakkan hukum terhadap kasus eksploitasi atau pencurian penyu yang mengakibatkan populasi penyu kian menurun. Hal tersebut merupakan salah satu alasan dari Yayasan Raksa Bintana untuk hadir dalam aksi menjaga pelestarian penyu dengan membuat konservasi penyu di Batu Hiu, Pantai Batu Hiu merupakan habitat pendaratan penyu untuk bertelur.
Aksi Konservasi Penyu Batu Hiu dan Hambatannya

Praktik konservasi penyu di Desa Ciliang diinisiasi oleh tim pengurus harian Konservasi Penyu Batu Hiu dan keterlibatan warga sekitar. Salah satu kegiatan utama adalah pengamanan telur penyu. Telur-telur yang ditemukan di pantai segera diamankan dari ancaman pencurian, konsumsi oleh manusia, serta predator alami seperti biawak dan kepiting. Setelah dikumpulkan, telur-telur tersebut dipindahkan ke lokasi penetasan yang lebih aman dan dipantau perkembangannya. Setelah telur menetas dan tukik berusia beberapa hari, dilakukan proses pelepasan ke laut. Pelepasan biasanya dilakukan pada waktu tertentu dengan mempertimbangkan kondisi cuaca dan gelombang laut agar tukik memiliki peluang hidup yang lebih tinggi.
Selain aspek teknis, tim konservasi juga aktif dalam edukasi masyarakat, khususnya dalam mengubah kebiasaan lama seperti mengonsumsi telur penyu. Telur penyu masih kerap dipercaya sebagai obat kuat sehingga mengubah persepsi masyarakat menjadi salah satu tantangan penting yang terus diupayakan melalui sosialisasi langsung maupun lewat kegiatan bersama warga.
Untuk memperkuat perlindungan ekosistem pantai, dibentuk pula kelompok masyarakat penjaga pantai. Kelompok ini bertugas menjaga kawasan pendaratan penyu di malam hari, memantau aktivitas wisata, serta membantu proses penetasan dan pelepasan tukik. Keberadaan mereka sangat penting dalam mengisi kekosongan peran pemerintah dalam hal pengawasan lapangan.
Namun, upaya konservasi ini tak lepas dari berbagai keterbatasan. Fasilitas konservasi masih sederhana dan peralatan teknis jauh dari standar. Seluruh kegiatan berjalan atas dasar swadaya masyarakat dan semangat para relawan. Tidak ada pendanaan tetap atau bantuan teknis yang rutin dari pemerintah. Koordinasi dengan lembaga seperti BKSDA dan Dinas Kelautan juga masih terbatas.
Kisah konservasi penyu di Batu Hiu adalah gambaran nyata bagaimana masyarakat bisa menjadi ujung tombak pelestarian alam, meski di tengah segala keterbatasan. Apa yang dilakukan warga Ciliang bukan sekadar pelestarian satwa tetapi juga warisan untuk generasi mendatang.
Ke depannya, besar harapan agar semua pihak, dapat lebih hadir dan berperan aktif dalam mendukung konservasi ini. Bukan hanya dalam bentuk seremonial, tetapi lewat dukungan nyata—baik dari segi fasilitas, pelatihan, pendanaan berkelanjutan, hingga kebijakan yang berpihak pada keberlanjutan lingkungan.
Penyu tidak bisa menyuarakan keluhannya. Namun melalui tangan-tangan warga yang peduli, mereka masih punya harapan untuk terus berenang bebas di laut lepas.
Penulis: Marwa Nur Afifah & Rully Adhitya F (Adbis PSDKU Unpad Pangandaran)
© 2025